Senin, 03 Januari 2011

kisah seorang ibu melahirkan anaknya sampai merawat anaknya

Add caption

Pagi itu matahari telah beranjak tinggi dari peraduannya, dan Ibu yang begitu anggun menjumpai aku di depan pintu. bergegas aku rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama. Ternyata rinduku pada beliau tidak bertepuk sebelah tangan, Ibu juga mendaratkan kecupan hangat di ubun-ubun ini, terasa hangat mengalir di lubuk hati. “Alhamdulillah, kamu sudah pulang nak” itu ucapan pertama beliau. Begitu masuk ke dalam rumah, aku mendapati ruangan yang sungguh bersih. Tenang hati ini, sudah sangat lama aku meninggalkan tempat ini.
Menjelang sore
“Nak tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih” bergegas saya melaksanakan permintaan ibu untuk pancinya. Tidak lama kemudian,
“Eh, tolongin Ibu bawa ember ini ke teras, Ibu mau menyiram bunga”. Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Segera saja aku bisa memindahkannya kehalaman depan dengan mudahnya. Kupandangi bunga-bunga yang tumbuh disitu, Subur dan terawat. Sedari dulu Ibu suka sekali menanam bunga. Kembali ibu memintaku melakukan sesuatu “Nak, Ibu baru saja mencuci, peras dulu, abis itu jemur yah” pinta Ibu.
“Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam” sekilas aku memandang wajah beliau yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.
Sore harinya ketika sedang menemaninya tilawah selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk menelusuri tiap huruf al-qur’an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Tangan itu terus bergetar. Aku berpaling, menyembunyikan bening kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata ini. kesedihan itu muncul seketika entahlah, tiba-tiba aku merasa sangat rindu pada ibu.
“Dingin bu..” bisikku manja sambil beringsut membenamkan kepala di pangkuan beliau. Ibu masih terus tilawah, sedang tangan kirinya membelai hangat kepalaku. Aku memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak berhingga.
Adzan isya berkumandang memecah keheningan, Ibu berdiri di sampingku, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi udara mushala kecil rumah. Usai shalat, Aku menunggunya membaca wirid, dan seperti tadi kupandangi lagi tangannya yang terus bergetar. “Duh Allah, Sayangi Ibuku” spontan aku terenyuh memohon kepada Alloh. “Nak..” Panggil ibu lembut membuyarkan lamunan, kini tangan kanan beliau terjulur di hadapanku. Kebiasaan saat selesai shalat, kurengkuh tangan berkah itu dan menciumnya berkali. tiba-tiba aku merasakan ada yang salah dengan tangan ibu “Tangan ibu kenapa?” tanyaku pelan. Ibu hanya tersenyum hangat.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Sejenak kupandangi langit dari teras depan rumah. Oh bulan yang merekah merah, menambah kerinduanku pada Ibu dan rumah ini, terasa syahdu malam itu.
Malam perlahan beranjak menjauh. Dalam hening itu, kubayangkan senyuman manis Ibu sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, aku seperti melayang. Telah banyak hal yang dipersembahkan tangan suci beliau untukku. Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalanku saat kecil hingga beranjak dewasa. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan rambut ketika aku tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika aku mencari kekuatan dipangkuan beliau ketika hati ini bergemuruh gundah gulana. Tangan yang selalu menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang aku jalani. Tangan yang sama yang selalu membuatkan pernak-pernik bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja belajarku ketika aku masih kecil, kata ibu waktu itu biar aku lebih semangat belajar. Dan ketika aku beranjak pergi untuk menuntut ilmu dan harus tinggal jauh darinya, pesannya selalu saja datang padaku. Dalam pesannya, Ibu selalu menyisipkan puisi. Ada sebuah puisinya yang sangat aku sukai. Ibu memang suka menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam, Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana, Bukan!, kau lebih dari itu,
kau adalah benderang matahari di tiap waktu, Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta, Itu saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Alloh. Itu yang aku baca dari sebuah buku. Jika aku renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibu adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, dan ketulusan..
Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan untuk sarapan?
Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika mendoakan anaknya agar diberi Alloh banyak kemudahan dalam menapaki hidup?
Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya membereskan tempat tidur kita?
Pernahkah ia mengungkap balasan atas semua persembahan tangannya?..
Pernahkah. .?
Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, Aku masih merajuknya “Bu, kembalilah ke rumah,”. “Ah, Ada ayah disini. Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang” Jawabannya ringan. Tak ada air mata seperti dulu saat aku melepasnya  pergi. Ibu tampak lebih pasrah, menyerahkan semua kepada kehendak Alloh.
Sebelum pergi, kurengkuh kembali punggung tangan beliau selagi sempat, kureguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untukku. Selagi sisa waktu yang kumiliki masih terhampar, kuciumi tangganya penuh takzim. Aku takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangan beliau, meletakannya dikeningku. Entahlah kepulanganku kali ini terasa lain
Dan ternyata semua pertanyaan dan keherananku terjawab sudah. Semuanya sudah berakhir. Perjalanan hidup ibu sudah ditutup hanya kenangan-kenangan itu yang tertinggal.
Ibuku sayang….
Aku tau dari sana kau juga membaca tulisan ini dan menemukan apa yang tidak tersurat sebagaimana cerita-cerita lalu yang aku keluhkan padamu disetiap kepulanganku. Aku berharap bisa menemukan wajahmu disetiap ruang dalam mimpiku.
Ibuku sayang…
Terimakasih atas segala cinta yang telah ibu berikan padaku selama ini. tak perlu khawatir bu, kalaupun yang ibu maksud adalah kebahagiaanku, aku bahagia telah merasakan kebahagiaan itu. Aku bahagia dengan hidupku selama ini aku menemukan cinta itu darimu Bu. Semua tak akan sama sejak kepergiannmu.
I LOVE YOU MOM...
* Apabila anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali tiga yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak yang mendoakannya. (HR. Muslim)
* “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dgn sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara kedua atau kedua-dua sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yg mulia.” .
* Dari Abu Hurairah dia berkata telah datang kepada Rasulullah saw seorang laki-laki lalu bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah yg lebih berhak untuk saya pergauli dengan baik?” Beliau menjawab “Ibumu” dia bertanya lagi “Kemudian siapa?” Beliau menjawab “Ibumu” dia bertanya lagi “Kemudian siapa?” Beliau menjawab “Ibumu” dia bertanya lagi “Kemudian siapa?” Beliau menjawab “Ayahmu”.
Allahummaghfirlanaa wali-waalidainaa warhamhumaa kamaa rabbayanii shaghiiraa. Laa ilaaha illaa annta subhaanaka inni kunntu minazhahaalimin. Laahaula walaa quwwata illaa billaahil ‘Aliyyil ‘Adhiim Amin..
Referensi : disadur ulang dari Dear Ibuku Sayang